Ketika asumsi-asumsi behaviorisme diserang habis-habisan pada akhir 60-an dan awal 70-an, psikologi sosial bergerak ke arah paradigma baru. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang berreaksi secara pasif pada lingkungan, tetapi sebagai makhluk yangs elalu berusaha memahami lingkungannya : makhluk yang selalu berpikir (homo sapiens).
Pikiran yang dimaksudkan behaviorisme sekarang didudukkan lagi di atas tahta. Frege (1977:38) menulis :“Pengaruh seseorang kepada yang lain kebanyakan ditimbulkan oleh pikiran. Kita mengkomunikasikan pikiran. Bagaimana hal ini terjadi? Kita timbulkan perubahan di dunia luar sana. Perubahan-perubahan ini, setelah dipersepsi orang lain, akan mendorong kita untuk memahami suatu pikiran dana menerimanya sebagai hal yang benar. Mungkinkan terjadi peristiwa besar dalam sejarah tanpa komunikasi pikiran? Anehnya kita cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi peristiwa, sementara berpikir, memutuskan, menyatakan, memahami dan sebagainya adalah fakta kehidupan manusia. Mana yang lebih nyata?sebuah palu atau pikiran? Alangkah bedanya proses penyerahan palu dengan komunikasi pikiran.”
Frege menulis hal di atas dalam sebuah buku filsafat berfikir (philosophical logic), mengisyaratkan kelebihan rasionalisme pada empirisisme. Psikologi kognitif memang dapat diasali pada rasionalisme Immanuel Kant (1724-1804), Rene Descartes (1596-1650), bahkan sampai ke Plato.
Descartes dan Kant menyimpulkan bahwa jiwa-lah (mind) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Jiwa menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif : mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan, mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima “seorang ibu yang tidur di samping bayinya tidak mendengar suara yang riuh-rendah di sekitarnya; tetapi begitu si kecil bergerak, ibu bangun dengan segera seperti penyelam yang tergesa-gesa muncul di permukaan air laut.
Tetapkanlah tujuannya pertambahan, dan stimuli “dua dan tiga” menimbulkan respon “lima”.
Tetapkanlah tujuan perkalian, dan stimuli yang sama, sensasi auditif yang sama, “dua dan tiga” melahirkan respons “enam”……
“Sensasi dan pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan”, begitu tulis Will Durant (1933:203) menyimpulkan tulisan Kant tentang estetika transcendental dalam kritik der Reinen Vermunft.
Rasionalisme ini tampak jelas di aliran Gestalt pada awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan psikoanalisis, adalah orang-orang jerman. : Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer, dan Koffka. Menurut mereka manusia tidak memebrikan respon kepada stimuli secara otomatis. Manusia adalah organism aktif yang menafsirkan dan mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respon, manusia menangkap dulu ‘pola’ stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini disebut Gestalt huruf ’1’ akan dianggap angaka 1 dalam rangkaian “1,2,3…” tetapi menjadi huruf l dalam rangkaian “k,l,m,n….” atau huruf i dalam ‘indonesia’. Manusialah yang menentukan makna stimuli itu, bukan stimuli itu sendiri. Dikalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi “Word don’t mean, people mean” à kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna. Bunyi “wi” berarti ‘kita’ menurut orang inggris, ‘siapa’ menurut orang belanda, ‘bagaimana’ menurut orang jerman, ‘duhai’ menurut orang arab atau hanya sekedar panggilan saying untuk gadis sunda bernama Wiwi.
Mula-mula psikologi Gestalt hanya menaruh perhatian pada persepsi obyek. Beberapa orang menerapkan prinsip-prinsip Gestalt dalam menjelaskan perilaku sosial. Diantara mereka adalah Kurt Lewin, Solomon Asch dan Fritz Heider.
Lewin : perilaku manusia harus dilihat dalam konteksnya. Dari fisika, lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukkan totalitas gaya yang mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku seseorang bukan hayna sekedar respon pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Lewin menyebut seluruh gaya yang mempengaruhi manusia sebagai ruang hayat (life space).
Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan individu, semua faktor yang disadarinya, dan kesadaran diri. Dari Lewin terkenal rumus : B=f (P,E), artinya behavior (perilaku) adalah hasil interaksi antara person (diri orang itu sendiri) dengan environment (lingkungan psikologisnya).
Lewin juga berjasa dalam menganalisa kelompok. Dari Lewin lahir konsep dinamika kelompok. Dalam kelompok, individu menjadi bagian yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lainnya. Kelompok memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki individu.
Solomon Asch memperluas penelitian kelompok dengan melihat pengaruh penilaian kelompok (group judgements) pada pembentukan kesan (impression formation). Dengan beberapa experimen, Asch menunjukkan kecenderungan orang untuk mengikuti pendapat kelompoknya.
Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang menunjukkan suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologis belum terpenuhi. Konsep tension melahirkan banyak teori yang digabung dengan istilah teori (konsistensi kognitif). Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa individu berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan pengalamannya. Bila makna tidak optimal, timbul tension yang memotivasi orang untuk menguranginya.
Fritz Heider, Leon Festinger, Abelson adalah tokoh-tokoh ini. Kita akan membicarakannya lebih lanjut dalam system komunikasi intrapersonal, sebab di sinilah psikologi kognitif banyak berbicara.
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (the person as consistency seeker). Di sinilah manusia dipandang sebagai makhluk yangs elalu berusaha menjaga keajegan dalam system kepercayaannya, dan di antara system kepercayaan dengan perilaku.
Contoh yang paling jelas adalah teori disonansi kognitif dari Leon Festinger. Disonansi artinya ketidakcocokan antara dua kognisi (pengetahuan). Dalam keadaan disonan orang berusaha mengurangi disonansi dengan berbagai cara. Disonansi membuat orang resah. Kognisi ‘saya tahu saya senang merokok’, disonan dengan ‘saya tahu rokok merusak kesehatan’. Dihadapkan dalam situasi disonan tersebut, saya akan (1) merubah perilaku, berhenti merokok atau memutuskan ‘saya merokok sedikit saja’ (2) mengubah kognisi tentang lingkungan, misalnya dengan mengatakan hanya perokok berat yang berabahaya, (3) memperkuat salah satu kognisi yang disonan ‘ah, kawan-kawan sayapun banyak yang merokok’ atau (4) mengurangi disonansi dengan memutuskan bahwa salah satu kognisi tidak penting, ‘tidak jadi soal merokok merusak kesehatan. Toh saya ingin hidup cepat dan mati muda’
Dalam teori komunikasi, teori disonansi menyatakan bahwa orang akan mencari informasi yang mengurangi disonansi, dan menghindari informasi yang menambah disonansi. Bila orang terpaksa juga dikenai informasi yang disonan dengan keyakinan orang tersebut, dia akan menolak informasi itu, meragukan sumbernya, mencari informasi yang konsonan, atau mengubah sikap sama sekali.
Awal tahun 1970-an : teori disonansi dikritik dan muncul persepsi manusia sebagai pengolah informasi (The person as information processor). Dalam konsep ini, manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri menjadi orang yangs ecara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Contoh perspektif inia dalah teori atribusi. Teori atribusi menganggap manusia sebagai ilmuwan yang naïf (naïve scientists), yang memahi dunia dengan metode ilmiah yang elementer.
Kenyataannya bahwa manusia tidak serasional dugaan di atas. Seringkali penilaian orang malah didasarkan informasi yang tidak lengkap dan kurang begitu rasional. Penilaian didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan diwarnai oleh prakonsepsi. Manusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam menetapkan keputusan.
Kahneman dan Tversky (1974) menyebutnya ‘cognitive heuristics’ (dalil-dalil kognitif). Ada orangtua yang segera gembira ketika anaknya berpacaran dengan mahasiswa ITB, karena berpegang pada ‘cognitive heuristics’ bahwa mahasiswa ITB mempunyai masa depan yang gemilang (tanpa meragukan masa depannya). Dari sini muncullah konsepsi manusia sebagai miskin kognitif (the person as kognitif miser).
Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah memasukkan kembali ‘jiwa’ manusia yang sudah dicabut oleh behaviorisme. Manusia kini hidup dan mulai berpikir. Tetapi manusia bukan sekedar makhluk yang berpikir, ia juga berusaha menemukan identitas dirinya dan mencapai apa yang didambakannya. Sampai di sini, psikologi kognitif harus memberikan tempat dan waktu untuk ‘penceramah’ berikutnya. Psikologi humanistic.
Sumber : Psikologi Komunikasi 26-30
No comments:
Post a Comment