Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap instropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak Nampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang Nampak saja, yang dapat diukur, yang dapat dilukiskan dan diramalkan. Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia --- kecuali instink--- adalah hasil belajar. Belajar artinya perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (homo mechanicus).
Aristoteles; berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman.
John Lock (1632-1704); tokoh empirisisme inggris meminjam konsep Aristoteles. Menurut kaum empiris; pada waktu lahir manusia tidak mempunyai ‘warna mental’. Warna didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan menuju pemilikan pengetahuan. Ide yang menghasilkan pengetahuan tetapi kedua-duanya adalah produk dari pengalaman. Secara psikologis berarti seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience) pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku, tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu. Kesulitan empirisisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu.
Hedonisme; salah satu faham filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan sendiri, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan.
Utilitarianisme; seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman “nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure”, Ujar Jeremy Bentham (1879:1)
Bila empirisisme digabung dengan utilitarianisme dan hedonisme, kita menemukan apa yang disebut behaviorisme (1980:17)
Sejak thorndik dan Watson sampai sekarang, kaum behavioris berpendirian : organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat social atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Asumsi ini ditambah lagi dengan sumbangan biologis abad XIX: manusia hanyalah kelanjutan dari organisme yang lebih rendah, karena itu kita dapat memahami manusia dengan meneliti perilaku organisme yang bukan manusia. Misalnya kita dapat merumuskan teori belajar dengan mengamati bagaimana tikus belajar (tidak sedikit orang yang benci menyebut behaviorisme sebagai psikologi tikus ‘rat psychology’!). sebuah universitas malah mulai menatar para dosennya dengan bahaviorisme, dan menyuruh dosen memandang mahasiswa sebagai tikus, kambing, merpati atau paling tinggi …. Simpanse.
Asumsi bahwa pengalaman adalah hal yang paling berpengaruh membentuk perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apapun dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Watson pernah sesumbar :
Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in and I’ll guarantee to take anyone at random and train him to become any type of specialist I might select—doctor, lawyer, artist, merchant---chief and, yes, even beggar man and thief. Regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations, and race of his ancestors (J.B. Watson, 1934:104)(berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka. Aku jamin aku sanggup mengambil seorang anak sembarangan saja, dan mendidiknya untuk menjadi tipe specialist yang aku pilih – dokter, pengacara, seniman, saudagar --- pengemis dan pencuri tanpa memperhatikan bakat, kecenderungan, tendensi, kemampuan, pekerjaan dan ras orangtuanya)
Watson melakukan satu experimen bersama Rosalie Rayner dan John Hopkins untuk membuktikan ucapannya; tujuan menimbulkan dan menghilangkan rasa takut. Subyek experimen adalah Albert B, bayi sehat umur 11 bulan yang tinggal di rumah perawatan anak-anak invalid, karena ibunya menjadi perawat disitu. ‘Albert menyayangi tikus putih, sekarang takut ingin diciptakan. Ketika Albert menyentuh tikus itu lempengan baja dipukul keras tepat dibelakang kepalanya. Albert tersentak, tersungkur dan menelungkupkan kepalanya diatas kasur. Proses diulangi, kali ini Albert tersentak, terseungkur dan mulai bergetar ketakutan. Seminggu kemudian ketika tikus diberikan kepadanya, Albert ragu-ragu dan emnarik tangannya ketika hidung tikus itu menyentuhnya. Pada keenam kalinya, tikus diperlihatkan dengan suara benturan yang keras, rasa takut Albert bertambah, dan ia menangis keras. Akhirnya kalau tikus itu muncul—walaupun tidak ada suara keras—Albert mulai mulai menangis, membalik dan berusaha menjauhi tikus itu. Kelak ia bukan saja takut pada tikus, tapi juga pada kelinci, anjing, baju berbulu, dan apa saja yang mempunyai kelembutan seperti bulu tikus. Albert sudah menjadi patologis. Watson dan Rayner bermaksud menyembuhkannya lagi, tetapi Albert dan ibunya meninggalkan rumah perawatan dan nasib Albert tidak diketahui (Hunt; 1982:62)'
Experimen yang dilakukan pada Albert bukan saja membuktikan betapa mudahnya membentuk atau mengendalikan manusia, tetapi juga melahirkan metode pelaziman klasik (classical conditioning) diambil dari sechenov (1829-1905) dan Pavlov (1849-1936), pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli terkondisi (tikus putih) dengan stimuli tertentu (yang tak terkondisikan-unconditioned stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned response). Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respon terkondisikan.
Dalam experimen di atas, tikus yang netral berubah mendatangkan rasa takut setelah setiap kehadiran tikus dilakukan pemukulan baja (unconditioned stimulus).
Pelaziman klasik akan menjelaskan bahwa bila setiap kali anak sedang membaca buku, kemudian orangtuanya mengambil buku dengan paksa, anak akan benci kepada buku. Bila munculnya orangtua selalu berbarengan dengan munculnya malapetaka, maka kehadiran orang tua akan mendebarkan setiap anaknya.
Skinner menambahkan jenis pelaziman yang yang disebut operant conditioning. Subyeknya burung merpati. Skinner menyimpannya dalam sebuah kotak (yang dapat diamati). Merpati disuruhnya bergerak sekehendaknya. Satu saat kakinya menyentuh tombol kecil di dinding kotak dan makanan pun keluar. Merpatipun bahagia. Mula-mula merpati tersebut tidak tahu hubungan antara tombol itu dengan makanan. Sejenak kemudian merpati itu tidak sengaja menyentuh tombol itu lagi, dan makanan turun lagi. Sekarang, bila merpati tersebut ingin makan, dia akan emndatangi tombol tesrebut dan menyentuhnya.
Sikap manusia pun sama. Bila setiap anak menyebut kata yang sopan, dans egera kita memujinya anak itu kelak akan mencintai kata-kata yang sopan dalam komunikasinya. Bila mahasiswa membuat prestasi yang baik dan kita menghargainya dengan buku yang bagus, mahasiswa akan meningkatkan prestasinya. Proses memperteguh respon yang baru dengan mengasosiasikannya pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Pujian dan buku dalam contoh tadi disebut peneguh (reinforce).
Tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman.
Bandura menambahkan konsep belajar sosial (social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Banyak perilaku manusia yang tidak dapat dijelaskan dengan mekanisme pelaziman atau peneguhan. Misalnya, mengapa anak berusia 2 tahun dapat berbicara dalam bahasa ibunya. Kaum behavioris tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang tadinya tidak ada maknanya dipasangkan dengan lambang atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik).
Menurut Skinner; mula-mula anak mengucapkan bunyi yang tidak bermakna, (misalnya : mamah), dengan cara ini berangsur-angsur membentuk bahasa anak yang memungkinnya bicara.
Menurut Bandura ; dengan cara seperti ini penguasaan bahasa akan terbentuk bertahun-tahun, dan cara ini tidak dapat menjelaskan kenapa anak-anak dapat mengucapkan kalimat-kalimat yang belum pernah mereka dengar sebelumnya.
Menurut Bandura ; belajar terjadi karena peniruan (imitation). Kemampuan meniru respon orang lain, misalnya meniru bunyi yangs erring didengar adalah penyebab utama belajar. Ganjaran dan hukuman bukanlah faktor yang penting dalam belajar, tetapi faktor yang penting dalam melakukan tindakan (performance). Bila anak selalu diganjar (dihargai) karena mengungkapkan perasaannya, ia akan sering melakukannya. Tetapi jika ia dihukum (dicela), ia akan menahan diri untuk bicara walaupun dia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Melakukan satu perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk melakukan ditentukan oleh peniruan.
Sumbangan Bandura tidak menyebabkan behaviorisme dapat menjelaskan seluruhnya. Behaviorisme bungkam ketika melihat perilaku manusia yang tidak dipengaruhi oelh ganjaran dan hukuman atau peniruan.
Orang-orang yang menjelajahi kutub utara yang dingin, pemuda jepang yang menempuh samudera pasifik dengan rakit, anak-anak muda ‘syia’ah yang menabrakkan truk berisi muatan dinamit, semuanya mengungkapkan perilaku yang “self-motivated”. Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa external. Perasaan dan pikiran orang tidak dapat menarik mereka.
Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ‘mentalistik’ dari Wilhelm Wundt. Seratus tahun sebelum Wundt membuka laboratorium psikologi experimental yang pertama, paradigm baru menyerang psikologi ‘behavioristik’, dan menarik psikologi kembali pada proses kejiwaan internal. Paradigm baru ini kemudian terkenal dengan psikologi kognitif.
Sumber : Buku Psikologi Komunikasi 21-25.
No comments:
Post a Comment